Ombak Laut
Saat
itu adalah perayaan peringatan hari guru, tepatnya pada tanggal 25 November
2009. Kami anak kelas 9A bersama wali kelas yaitu pak Bayu pergi ke pantai para
pahlawan untuk merayakan hari yang bersejarah bagi para guru kami. Pagi itu sangat
indah, dengan air laut yang masih surut dan sinar matahari yang baru terbit
dari sebelah timur memberikan pantulan yang begitu indah pada pasir pantai yang
begitu putih seperti kapas. Pohon-pohon bakau yang begitu banyak sehingga
membentuk pemandangan yang sangat indah.
Dari
kejauhan terlihat segorombolan teman laki-laki kami yang membawa bekal makanan
turun dari mobil. Meski dengan dahi yang mengerut karena beban yanng begitu
banyak, namun di situ terdapat goresan senyum di bibir mereka. Namun tidak
dengan salah seorang teman kami yang bernama Muhammad Syaiful, teman kami ini
biasa dipanggil gentong karena ukuran badannya yang jumbo. Hari itu ia tak
begitu bergairah, padahal biasanya ia termasuk anak jail dan usil, bahkan teman
perempuan kami sering dibuat menangis olehnya. “anak-anak, sebelum kalian pergi
bermain dan berpencar entah kemana, bapak ingin dalam waktu 10 menit
masing-masing dari kalian membawa kayu bakar” kata wali kelas kami kepada anak
laki-laki, sementara anak perempuan harus tinggal untuk membakar ayam yang
sudah kami bumbui dan kami kukus dari rumah. Meskipun tidak tepat waktu
akhirnya teman kami pun datang dengan membawa kayu bakar, namun anehanya ipul
belum juga kunjung datang, dan itulah kali pertama ipul memberikan rasa kekhawatiran
pada kami semua. Tiba-tiba dari arah hutan yang begitu rindang nampaklah
seorang teman kami dengan membawa kayu bakar, “pak, si gentong katanya izin
sebentar mau buang air kecil”, lalu bapak menjawab “eh, kamu ini apaan sih?
Tidak boleh memanggil teman dengan sebutan seperti itu. Ya sudah, setelah ini
kalian boleh bermain. Tapi ingat, kalian tidak boleh bermain terlalu jauh, dan jam 11 harus sudah kumpul
lagi untuk makan. “ok pak” jawab salah seorang dari teman.
Beberapa
menit setelah anak laki-laki bubar main ke pinggiran pantai si Ipul baru
memunculkan batang hidungnya. Dan yang anenhnya lagi dia bukannya menyusul anak
cowok tapi malah ikut gabung bantuin masak sama anak ceweknya. Padahal dia kan
orangnya tidak terlalu suka dengan anak cewek yang ada di kelas dan bahkan
sebaliknya, anak cewek pun selalu menjadikan ipul bahan perbincangan karena
kenakalannya. Jam menunjukkan pukul 11, anak-anak pun sudah berkumpul untuk
melahap makanan yang telah kami sajikan. Aku melihat terlalu banyak perbedaan Ipul
hari ini, dia begitu diam. Ipul terkenal dengan sikapnya yang tamak dengan
makanan, tapi hari ini dia hanya melihat tumpukan nasi di depannnya. “pul, ayo
makan! Apa hari ini kamu diet?” ledek guru kami. Sesekali ini memasukkan
beberapa butir nasi ke dalam mulutnya. Mungkin hanya tidak enak hati kepada pak
Bayu. Makanan habis, semua peralatan makanan sudah di cuci dan di masukkan ke
dalam tempatnya.
Sekitar
jam 12:30 air laut sudah pasang dan hampir naik ke pinggiran pantai, anak-anak
pun pada bersorak kegirangan menyambut pasangnya air laut. Dari kejauhan
terlihat kapal-kapal para nelayan yang saling berselisih antara pergi dan
pulang, dan ombak yang datang ke permukaan pantai pun begitu indah. Hampir 3
jam kami berendam di dalam air yang rasanya agak sedikit asin. Semua anak
menikmati momen indah itu, begitu pula dengan Ipul teman yang sedari tadi aku
ceritakan. Beberapa kali Ipul mencoba menipu kami dengan tingkah nakalnya,
“heiiiii semua, tolong!!!! Aku tidak bisa berenang”, sambil membawa dirinya
hampir ke tempat yang lebih dalam, dan itu ia lakukan beberapa kali, ia selalu
tertawa ketika kami berhasil ditipu mentah-mentah olehnya.
Kali
ini ia memulai tingkah anehnya lagi, ia membenamkan dirinya lagi dan mengulang
kata-kata yang sama, “teman-teman, aku mohon kali ini aku tidak bercanda. Aku
mohon!!!!”. Tapi kami hanya tertawa, dan mengira ia menipu kami lagi, dan kami
pun tidak ingin tertipu olehnya untuk yang ke sekian kalinya. Tapi saat itu ada
yang aneh, ipul tidak kunjung menampakkan dirinya kepermukaan. Mata kami semua
saling bertatapan, sejenak kami bingung dengan apa yang sedang terjadi. Kami
berlari menuju pantai, kami semua berteriak, kami berteriak dengan histeris.
“ipuuullllll, ipuuuulllll.....”, semua mulut berkata seperti itu dengan suara
yang menggelegar di penuhi rasa takut. Salah seorang teman kami bergegas pergi
menyusul wali kelas untuk mengatakan bahwa ipul hilang ditelan ombak. Dari
kejauhan ia berlari, sambil menahan matanya yang sedang berkaca-kaca. “pak, ayo
kita turun sebentar!”, “emang ada apa? Bapak mohon kamu jangan panik seperti
ini!” bapak mencoba untuk menenangkannya, tapi ia tak menghiraukan saran dari
pak bayu, ia hanya menggegam tangan si bapak sambil menarik turun ke bawah.
Sesampainya bapak di bawah kami hanya bisa terpaku diam seribu bahasa, saat itu
siapapun tak ada yang berani memecah keheningan, sehingga pak Bayu sendiri yang
memaksa saya utntuk berbicara. Akhirnya saya menjelaskan semuanya. Matahari
sudah hampir tidak terlihat, namun tidak ada tanda-tanda bahwa kami akan
menemukan ipul. Kami semuanya bingung, tidak tahu siapa yang akan disalahkan
dalam masalah ini. Akhirnya kami pulang dengan perasaan sedih dan bersalah, pak
guru mengatakan bahwa dia yang akan menjelaskan kepada orangtua Ipul atas apa
yang terjadi hari ini, dan dia juga yang akan bertangung jawab. Tapi kami
sebagai teman Ipul tetap merasa bersalah, karena seandainya kami mendengarkan
omonganya, pasti dia akan selamat dan pulang bersama kami. Tapi semuanya sudah
terjadi, kami tidak ingin menumpahkan semua masalh ini kepada pak guru
seutuhnya. Kami ingin ikut bertanggung
jawab, atas kebodohan yang telah kami lakukan. Sampai sekarang saya masih
dihantui rasa bersalah atas kepergian Ipul, saya harap jika Ipul memang sudah
tiada dia diterima di sisi Allah swt, dan jika ia terdampar di pantai yang lain
dia bisa kembali dan berkumpul bersama kami lagi.